Selasa, 02 November 2010

Bahasa Jawa




















Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.


Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Fonologi

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:





Vokal:
Depan Tengah Belakang
i     u
e ə o
(ɛ) (ɔ)
a
Konsonan:

Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal Velar Glotal
Letupan p b t d
ʈ ɖ k g ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Likuida & semivokal w l r j
Sengau m n
(ɳ) ɲ ŋ
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [baba?] 'luka'; [bɔbɔ?]'param' atau 'lobang', sikile di-bɔbɔ?i 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔ?i 'pintunya dilubangi'; dan [bobo?] 'tidur'. [warɔ?] 'rakus' sedang [wara?] 'badak'; [lɔr] 'utara' sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ?] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ?] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan [pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.

Penjelasan Vokal:

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Penjelasan Konsonan:

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
  • (n) adalah fonem sengau homorgan.
  • K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
  • (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
  • V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
  • K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
  • a
  • an
  • pan
  • prang
  • njlen

Tata Bahasa



Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) . Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.
Kelompok Barat
  1. dialek Banten
  2. dialek Cirebon
  3. dialek Tegal
  4. dialek Banyumasan
  5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
  1. dialek Pekalongan
  2. dialek Kedu
  3. dialek Bagelen
  4. dialek Semarang
  5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
  6. dialek Blora
  7. dialek Surakarta
  8. dialek Yogyakarta
  9. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
  1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
  2. dialek Surabaya
  3. dialek Malang
  4. dialek Jombang
  5. dialek Tengger
  6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).

Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuna sa rwa telu pat lima enem pitu walu sanga sapuluh
Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa
Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal enem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga sepuluh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas (sewelas)
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 patbelas sekawan welas
15 limalas gangsal welas
16 nembelas enem welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rong puluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 patlikur sekawan likur
25 selawé selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitu dasa
80 wolung puluh wolu dasa
90 sangang puluh sanga dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
1.520 sèwu limang atus rong puluh setunggal èwu gangsal atus kalih dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551 sèwu limang atus sèket siji setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.000 satus èwu setunggal atus èwu
500.000 limang atus èwu gangsal atus èwu
1.000.000 sayuta setunggal yuta
1.562.155 sayuta limang atus swidak loro èwu satus sèket lima setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu setunggal atus sèket gangsal

Fraksi

  • 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
  • 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
  • 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
  • 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)

Catatan kaki

  1. ^ Uhlenbeck, E.M. 1964.A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff

Jangan Lupakan Bahasa Jawa

Realitas yang menyedihkan ketika sebuah bangsa tidak menghargai bahasanya sendiri. Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, bahkan merupakan bagian terpenting dari kebudayaan. Dan sebuah bangsa tanpa budaya adalah kosong, karena tidak ada identitas yang dimunculkan untuk membedakannya dengan bangsa lainnya.
Dalam berkomunikasi, setiap orang membutuhkan sebuah alat yang dapat menghubungkannya dengan orang lain yaitu bahasa. Selain sebagai sebuah alat komunikasi, bahasa juga merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri seperti yang disebut dalam Kridalaksana (1983). Bahasa sebagai sistem berarti ia memiliki sebuah pola dan dapat dikaidahkan. Bahasa bersifat universal sebab ia merupakan sistem yang dianut manusia pada umumnya, namun tetap terbatas pada satu masyarakat tertentu. Baik benua, negara, bahkan suku bangsa yang merupakan kesatuan masyarakat budaya terkecil. Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki masing-masing bahasa yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi. Begitupun di Indonesia yang terdiri dari ratusan suku bangsa yang tiap suku bangsanya memiliki bahasanya sendiri yang juga terdiri dari berbagai dialek atau ragam bahasa.
Menurut Kaswanti Purwo dalam Macaryus (2008) Indonesia memiliki bahasa daerah sebanyak 706. Dendi Sugono pada Kongres Bahasa Jawa IV mengemukakan jumlah 720. Data SIL (Summer Institute of Linguistic) menunjukkan adanya 735 bahasa daerah di Indonesia. Di Pulau Jawa terdapat 12 bahasa, di Pulau Kalimantan 8 bahasa, di Pulau Sumatra 27 bahasa, di Pulau Sulawesi 17 bahasa, di Nusa Tenggara 13 bahasa, di Maluku 2 bahasa, dan di Irian Jaya 2 bahasa. Bahasa-bahasa tersebut merupakan bahasa yang masih sehat atau penuturnya 100.000 atau lebih. Sisanya sejumlah 652 bahasa adalah bahasa yang ada dalam kondisi mengkhawatirkan, tidak diketahui, bahkan terdapat 2 bahasa yang punah.
Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock, dalam Koenjaraningrat, 1994: 17). Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
Namun ternyata bahasa Jawa juga dituturkan di negara jiran kita yaitu Malaysia. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu hampir di seluruh pulau di negeri ini terdapat pengguna bahasa Jawa. Bahkan di luar negeri pun terdapat pengguna bahasa Jawa yang tersebar di beberapa negara. Yang cukup terkenal adalah di Suriname. Selain itu juga banyak warga Negara Indonesia yang tinggal di luar negeri yang masih tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka dengan sesama warga Jawa. Hal ini membuktikan bahwa daerah persebaran bahasa Jawa sangatlah luas. Sehingga Bahasa Jawa dapat dikatakan sebagai bahasa ibu yang sangat sehat dengan banyaknya penutur yang tersebar di seluruh dunia.
Yang kita perlu tahu dan renungkan adalah bukan tentang siapa yang menuturkan bahasa Jawa, namun apa yang dapat kita lakukan sebagai penutur asli bahasa Jawa dalam menghadapi situasi dimana makin berkurangnya “orang Jawa” yang mampu berbahasa Jawa. Masyarakat Jawa sekarang lebih merasa bangga ketika ia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan komunikasinya daripada menggunakan bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa. Bukan bermaksud untuk menomorduakan bahasa Indonesia, namun pemertahanan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa merupakan salah satu cara agar bahasa yang merupakan bagian terpenting dalam sebuah kebudayaan tidak mengalami kepunahan. Sebelumnya dikatakan bahwa bahasa Jawa termasuk dalam salah satu bahasa ibu di nusantara yang sangat sehat. Namun tak menutup kemungkinan, bahasa yang sangat sehat ini, dalam jangka waktu yang cepat dapat mengalami kepunahan. Ungkapan bahasa menunjukan bangsa, kendati maknanya tidak sesederhana itu, tapi bisa kita pertautkan sedikit. Kalaulah kita sendiri sudah merasa malu menggunakan bahasa kita, apakah tidak layak kita pertanyakan nasionalisme kebangsaan kita.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat Jawa. Hal ini dapat diketahui dari pemakaian bahasa Jawa dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat etnis Jawa, yaitu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-hari, dalam dunia pendidikan, dalam media massa, dan lebih lagi dalam dunia dunia seni pertunjukan tradisional Jawa seperti wayang, ludruk, ketoprak, dan sebagainya.
Bahasa Jawa menurut Mulyani (2008) pada prinsipnya terbagi dalam dua tingkat tutur, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko lebih lanjut dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ragam ngoko lugu dan ragam ngoko alus. Ragam ngoko lugu berupa tuturan yang semua leksikonnya berasal dari kelompok ngoko (kosa kata yang netral) tanpa diselipi leksikon yang berasal dari kelompok krama, krama inggil maupun krama andhap. Sedangkan ragam ngoko alus berupa tuturan yang leksikonnya berasal dari leksikon ngoko dan disisipi dengan leksikon yang berasal dari leksikon krama, krama inggil ataupun krama andhap. Pemakaian leksikon krama, krama inggil ataupun krama andhap pada ragam ngoko alus ini berfungsi untuk menghormati mitra tutur. Lalu untuk kosa kata ragam krama lugu berasal dari leksikon krama, madya, dan netral. Munculnya leksikon krama inggil ataupun krama andhap adalah untuk menghormati mitra tutur. Sedang ragam krama alus berkosa kata yang berasal dari leksikon krama ditambah dengan leksikon dari kelompok krama inggil dan krama andhap. Penggunaan ragam ini juga berfungsi untuk menghormati mitra tutur.
Adanya berbagai ragam tingkatan Bahasa Jawa merupakan refleksi sosial yang terdapat dalam masyarakat Jawa, yang kerap dihubungakan dengan unggah-ungguh bahasa, salah satunya bisa menggunakan ragam krama atau krama inggil pada orang yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi. Sedang dengan menggunakan ragam ngoko, maka orang dianggap memiliki tingkat social atau kesopanan yang rendah. Dengan adanya perbedaan tingkat tuturan maka hal ini dapat mencerminkan tingkat kesopanan yang dimiliki antara penutur dan lawan tutur.
Upaya memperkuat dan memperkokoh kembali budaya Jawa dapat dilakukan dengan cara membiasakan kembali menggunakan budaya dan bahasa Jawa. Hidup atau matinya budaya dan bahasa Jawa di masa mendatang tergantung masyarakat pemilik budaya dan bahasa ini, terutama generasi muda dan keluarga Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama. Dengan tercerminnya tata krama, maka akan terlihat seperti apa budaya yang dijunjung oleh masyarakatnya. Sehingga sebuah bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang melestarikan bahasa daerahnya sebagai bagian dari kebudayaan.
Bahasa Jawa sebagai salah satu bagian dari budaya asli Indonesia juga mengalamai keadaan yang sama dengan budaya itu sendiri. Makin berkurangnya masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya dan memilih bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing, merupakan gejala yang kini kerap muncul. Ketika bahasa Jawa saja sudah mulai terkikis penggunaanya tentu saja adanya berbagai tingkat tutur bahasa Jawa yang masih bertahan dalam masyarakat penggunanya pun perlu dipertanyakan kembali. Mari kita cintai dan lestarikan bahasa bahasa daerah yang ada di Indonesia. Minimal bahasa daerah kita sendiri. Salam budaya!!!
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
Macaryus, Sudartomo. 2008. “Aneka Problem Pembelajaran Bahasa Daerah” dalam Mulyana (ed). Bahasa dan Sastra Daerah Dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mulyani, Siti. 2008. “Optimalisasi Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Proses Pembentukan Jati Diri” dalam Mulyana (ed). Bahasa dan Sastra Daerah Dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ninja legendaris yang pernah ada di Jepang



Ninja jepang
Tampaknya tidak masuk akal kalau ceritanya seperti itu. Jadi kita harus kembali, dan melihat ke buku-buku sejarah pada masa era Jepang, untuk melihat seperti apa fakta sebenarnya tentang Ninja.
Asal usul ninja sangat tidak jelas dan sulit untuk dipastikan. Menurut sejarah, mereka ada sekitar abad ke-14. Dalam catatan tertulis detail kegiatan ninja bahwa mereka juga dikenal sebagai shinobi “ahli di bidang pengumpulan informasi,” atau “ahli dalam penyamaran dan bergerak secara diam-diam” yang mampu menembus wilayah musuh untuk mengamati setiap gerak-geriknya dan mendapatkan informasi rahasia tanpa terdeteksi. Pada periode Sengoku (masa peperangan di Jepang abad 15 – 17), tentara bayaran dan mata-mata untuk di sewa muncul dari daerah Iga dan Koga di Jepang, dan dari klan inilah yang kemudian banyak pengetahuan tentang ninja itu disimpulkan.
Setelah penyatuan Jepang di bawah kekuasaan Tokugawa, ninja dikatakan muncul lagi. Namun pada periode Edo (1603-1867) mereka diancam untuk dimusnahkan, sehingga banyak dari mereka mati dan melarikan diri.

Adapun sejarah yang menceritakan tentang The Sanada Ten Braves (Sepuluh Pahlawan Sanada) adalah kelompok ninja legendaris yang merupakan para pengawal dari Sanada Yukimura saat peperangan selama periode Sengoku


Patung Sanada Yukimura


Anggota Sanada Ten Braves
Sarutobi Sasuke (fakta : Kouzuki Sasuke)
Secara umum Sasuke adalah ciptaan fiksi pada era meiji yang lahir 25 Juni, 410 berdasarkan dari sejarah ninja Kozuki Sasuke. Faktanya menyebutkan bahwa dia terdaftar dalam anggota Sepuluh Pahlawan Sanada yang merupakan bukti bahwa dia pernah ada.
Sasuke adalah seorang ninja dari klan Koga, sedangkan Kirigakure Saizo adalah seorang ninja Iga. Dengan demikian, ketika Sasuke dan Saiz? muncul bersama-sama, mereka selalu digambarkan sebagai saingan berat, namun setelah direkrut ke Sanada mereka menjadi sahabat.
Sarutobi yang berarti ‘monyet melompat’, dia dikenal karena kelincahan dan kecepatannya dalam bergerak, terutama di pohon.
Sasuke meninggal ketika ia terdeteksi oleh penjaga istana. Dia berhasil melarikan diri namun sayang, dia masuk ke dalam perangkap beruang yang membuatnya terpaksa untuk mengamputasi kakinya sendiri. Dia kemudian bunuh diri di depan para penjaga istana dan mereka pun melemparkan tubuhnya ke dalam parit.

Patung Sarutobi Sasuke di Imabari Jepang


Kirigakure Saizo ( fakta : Kirigakure Shikaemon)
Saizo adalah seorang ninja dari klan Iga yang ahli dalam Iga ninjutsu. Nama Kirigakure secara harfiah berarti “Kabut Tersembunyi”, dengan artian bahwa Saizo sering dikaitkan dengan kabut dan ilusi sihir. Penampilan Saizo dalam beberapa media biasanya muncul sebagai karakter yang tenang, elegan, dewasa, tampan dan kadang-kadang sebagai orang muda yang sedikit feminim.
Miyoshi Seikai (fakta : Miyoshi Seikai Nyuudou)
Miyoshi Isa (fakta : Miyoshi Isa Nyuudou)
Anayama Kosuke (fakta : Anayama Osuke)
Unno Rokuro (fakta : Unno Koheita atau Unno Rokuroubee)
Kakei Juzo (fakta : Kakei Juubee atau Kakei Kanerokurou)
Nezu Jinpachi (fakta : Nezu Koroku atau Azai Iyori)
Mochizuki Rokuro (fakta : Mochizuki Uemon atau Mochizuki Jinzaemon)
Yuri Kamanosuke (fakta : Yuri Kamanosuke)

Dari ke sepuluh anggota, hanya Sarutobi Sasuke dan Kirigakure Saizo lah yang paling terkenal dan sering muncul dalam berbagai media. Sisanya sangat jarang diceritakan dan bahkan kemudian beberapa dari mereka mungkin muncul dengan karakter yang samar-samar. Ada yang mengatakan Anayama Kosuke adalah seorang perempuan, dan Miyoshi bersaudara itu Nyuudou (pendeta).

Ada juga beberapa Ninja legendaris lain, yang mungkin sebagian sudah tidak asing lagi bagi kita.

Fuma Kotaro (???? – 1603)

Adalah ninja yang muncul pada periode Sengoku juga. Legenda mengatakan bahwa pada tahun 1596, Kotaro dilacak oleh Hattori Hanzo atas suruhan Tokugawa Leyasu. Hal ini diyakini bahwa Kotaro bertanggung jawab atas kematian Hanz? dengan memancingya ke sebuah saluran kecil yang menyebabkan kapalnya terjebak di air pasang. Kemudian pasukan Kotaro membakar saluran tersebut dengan minyak.

Ketika Tokugawa berkuasa, kekuatan Fuma-ryu berkurang menjadi sekelompok bajak laut yang sering menyerang sejumlah daerah Tokugawa. Mereka akhirnya tertangkap dan dieksekusi mati.


Hattori Hanzo (1542 – December 23, 1596)

Dikenal juga dengan nama Hattori Masanari adalah seorang ninja dari klan Iga yang juga seorang samurai terkenal pada periode Sengoku.

Hattori pertama kali berperang pada usia 16 tahun, dia juga ikut serta dalam beberapa pertempuran seperti Anegawa (1570) dan MikatagaharaOda Nobunaga. Hatori memberikan masa depan kepada Tokugawa Leyasu untuk menjadi shogun dengan jalan keluar melalui daerah Koga dan Iga untuk kembali ke provinsi Mikawa, yang kemudian Leyasu memperkerjakan para ninja Iga menjadi penjaga Istana Edo (markas besar Tokugawa) (1572). Kontribusinya yang paling besar adalah pada tahun 1582, setelah kematian
Hattori Hanzo meninggal tahun 1596 pada usia 55 dengan kematian yang alami. Namun, ada legenda terkenal bahwa seorang ninja Fuma Kotaro yang telah membunuh Hanzo dalam pertempuran. Hahaha.. mana yang bener nih??

Mochizuki Chiyome (abad 16)
Chiyome adalah seorang ninja wanita dari klan Koga yang mendirikan grup ninja beranggotakan wanita (kunoichi). Dia melatih semua anggotanya untuk menjadi pengumpul informasi yang sangat efisien, perayu yang handal, kurir, dan bila perlu menjadi pembunuh. Anggotanya juga diajarkan semua keterampilan sebagai seorang miko (penjaga kuil) yang bertugas di setiap kuil Shinto di Jepang. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengembara kemana saja tanpa dicurigai. Mereka juga menerima pendidikan agama sebagai pelengkap dalam penyamaran.
Seiring waktu, para Kunoichi belajar lebih efektif dalam penyamaran seperti menjadi aktris, wts atau bahkan geisha. Hal ini memungkinkan mereka untuk dapat bergerak bebas di desa-desa, kota, istana dan kuil-kuil, sehingga dapat semakin dekat dengan target sasaran. Para Kunoichi lebih terfokus pada pertempuran satu lawan satu. Mereka juga dipersenjatai dengan sebuah gudang senjata mematikan yang tersembunyi dari pandangan atau tidak tampak seperti senjata sama sekali, seperti jarum, pisau belati yang tersembunyi di lengan baju mereka, dan neko-tekakushi buki atau senjata rahasia). Mereka juga dilatih untuk secara efektif membunuh target dengan menggunakan racun.
Dalam suatu insiden, Lady Chiyome lenyap dalam sejarah. Tapi Sebelum ia menghilang, dia menyerahkan sekolah pelatihannya kepada Kosuke Anayama.

Fujibayashi Nagato (abad 16)
Fujibayashi Nagato adalah salah satu dari tiga terbesar ninja lga setelah Hattori Hanzo dan Momochi Sandayu. Dia bekerja cukup jauh dari daerah utama kegiatan Momochi Sandayu (lga Utara), dan sangat ditakuti oleh semua orang. Namun, diyakini bahwa Momochi Sandayu dan Fujibayahi Nagato sebenarnya adalah orang yang sama, seperti disebutkan Momochi Sandayu dalam jurnal Oda Nobunaga yang menggambarkan invasi dari provinsi Iga pada 1581 atas keberanian dan kegagahannya, tapi tidak ada menyebutkan nama Fujibayashi Nagato. Namanya ninja banyak rahasia banget nih.. hehehe


Situs reruntuhan istana Momochi Sandayu

Ishikawa Goemon (1558 – 1594)
Adalah seorang ninja yang tidak diketahui dari mana klan-nya. Tapi dia adalah pahlawan sekaligus pencuri legendaris yang mencuri emas dan barang-barang berharga untuk diberikan kepada orang-orang miskin. Dia menjadi terkenal karena direbus hidup-hidup setelah percobaan pembunuhan yang gagal pada Toyotomi Hideyoshi. Ketel besi besar berbentuk bak mandi yang disebut Goemon-BÜRO.
Informasi tentang sejarah kehidupan Goemon ada berbagai macam. Tapi pada intinya semua sama bahwa dia adalah seorang pahlawan rakyat, yang latar belakang dan asal-usulnya tidak diketahui oleh siapapun sehingga setiap orang berspekulasi sendiri-sendiri.

 
Yagyu Sekishusai Taira-no-Munetoshi (1529-1606)
Adalah seorang samurai pada periode Sengoku yang terkenal ahli dalam Shinkage-ryu school (sekolah bayangan) yang kemudian diperkenalkan kepada klan Tokugawa. Cerita mengatakan bahwa kakek dari Munetoshi adalah seorang ninja dari klan Iga. Dia mempelajari seni bela diri dan liberal, sangat mahir dengan tombak dan pedang, serta mempelajari Confucianism (sistem filsafat dan etika dari Cina), Zen Buddhisme, dan Buddhisme Shingon.
Munetoshi juga menjadi karakter dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa juga di komik manga VAGABOND dan kalau dalam game Onimusha 2 dia ini yang jadi karakter utama .
Yagyu Sekishusai Taira-no-Munetoshi meninggal pada umur 78, tahun 1606 di Desa Yagyuu. Dan pada tahun 1650, Yagy? J?bei Mitsuyoshi (terkenal dengan legenda si mata satu atau dalam komik manga Samurai Legend), yang merupakan cucu Munetoshi dimakamkan di tempat yang sama bersebelahan dengan kakeknya.



Tidak mudah untuk menjadi seorang Ninja, mereka harus bisa menguasai Ninjutsu. Ninjutsu itu sendiri meliputi berbagai macam teknik yang diantaranya :
  1. B?jutsu
Seni bela diri dengan menggunakan senjata tongkat (bo)
  1. Shurikenjutsu
Seni bela diri melempar shuriken yang kecil, seperti duri logam (bo shuriken) atau pelat logam bundar (hira shuriken), dan pisau (tanto)
  1. S?jutsu
Seni beladiri dengan menggunaka tombak (yari)
  1. Naginatajutsu
Seni bela diri mengayunkan naginata, yang merupakan senjata tongkat dengan tambahan pedang pada ujung tongkatnya.
  1. Kusarigamajutsu
Seni beladiri menggunakan senjata yang menyerupai sabit (kama), namun dengan tambahan rantai logam (manriki) serta memiliki pemberat pada ujung rantainya.
  1. Kayakujutsu
Seni beladiri dengan menggunakan senjata api, mesiu atau bahan peledak.
  1. Kenjutsu
Seni beladiri menggunakan pedang.
  1. Taijutsu
Seni beladiri tanpa senjata atau teknik yang mengandalkan gerakan tubuh secara alami.
  1. Hens?jutsu
Teknik untuk bisa menyamar, meniru dan menyusup.
  1. Shinobi-iri
Teknik untuk bisa bergerak secara diam-diam dan mendaki dalam upaya penyusupan.
  1. Bajutsu
Teknik untuk bisa mengendarai kuda.
  1. Sui-ren
Teknik yang melibatkan atau berhubungan dengan air seperti, bertarung di dalam air, menyamar di dalam air, atau untuk bergerak diatas dan di dalam air.
  1. B?ryaku
Adalah strategi dan taktik yang tidak lazim, serta memanipulasi politik dan mengeksploitasi peristiwa terkini untuk membantu dalam proses mempengaruhi lawan.
  1. Ch?h?
Secara harfiah berarti “informasi rahasia” atau “kecerdasan”, adalah seni spionase yang merupakan teknik paling penting menjadi seorang ninja untuk memata-matai dan menyabotase lawan.
  1. The art of the Butterfly
Menjadi lebih ahli dalam Chi-mon, B?ryaku, Shinobi-iri, Hens?jutsu, Kayakujutsu, Ch?h?, and Intonjutsu teknik.
  1. Intonjutsu
Teknik untuk bisa melarikan diri atau bersembunyi.
  1. Tenmon (meteorology)
Teknik untuk memahami dan menggunakan meteorologi sebagai senjata strategis dengan mengetahui perubahan alam, perilaku hewan, atau tanda-tanda pergerakan atmosfer. Seorang ninja dapat memakai hujan atau matahari sebagai elemen strategis untuk melemahkan dan mengalahkan musuh.
  1. Chi-mon (geography)
Seorang ninja akan menghabiskan beberapa hari di ruangan kelas untuk belajar geografi negaranya. Selain itu mereka juga belajar botani, entomologi, geologi, dan zoologi dalam upaya untuk menentukan lokasi mereka berdasarkan pada lingkungan alami mereka.
Pakaian yang digunakan oleh ninja berada di musium Ninja Iga-ryu
Senjata khas ninja yaitu Kusarigama
Mizugumo atau sepatu untuk bergerak diatas air dan sepatu khusus untuk memanjat tembok
Komuso biksu adalah penyamaran yang paling sering digunakan oleh ninja
Panjang banget kalau cerita tentang Ninja.. ga ada matinya dehh!! Hehehe.. Tapi, kalau kita ke Jepang sempatin untuk mampir ke sini :
Musium Ninja Iga-ryu
Alamat : 117-13-1 Ueno Marunouchi Iga-city, Mie prefecture
Telepon : 0595-23-0311
Buka : 9a.m. – 5p.m.
Tutup : Des.29 – Jan.1
Tarif : Dewasa 700 yen, anak-anak 400 yen

Musium ninja Iga
Desa Ninja Koga
Alamat : 394 Oki Koga-cho Koga-gun Shiga prefecture
Telepon : 0748-88-5000 / FAX 0748-88-2108
Buka : 10am – 4:30pm
Tutup : Senin dan musim salju
Tarif : Dewasa 1,000 yen, pelajar SMP/SMA students 800 yen, pelajar SD 700 yen, anak-anak 500 yen

Sejarah Wayang Kulit



WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per tunjukan wayang.
Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.
Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
source: http://budayawayangkulit.blogspot.com/2009/01/wayang-kulit-wayang-salah-satu-puncak.html

JAVANESE WAYANG




Wayang theatre is considered to be a highlight of Javanese culture.   Over the centuries its religious character has increasingly developed into a distinct art form; foreign influences introduced new stories, characters were added, and new refined styles were developed at the courts. There are various types of wayang, but, in Java, the most important is the wayang purwa, which uses kulit (flat cut-outs of painted leather puppets) whose shadows are projected on a large white screen. Wayang purwa makes use of the purwa repertoire: the oldest stories about cosmic events and divine will are represented; the course of events is seen as being predestined, part of a cosmic law. The Javanese word purwa means ‘beginning’ or ‘first’ and derives, probably, from the Sanskrit parwan, a word used to denote the chapter of the Mahabharata.

Although the origins of wayang purwa have been subject to intense scholarly debate in the last part of the Nineteenth and the beginning of the Twentieth centuries, its precise origins remain elusive. Some scholars view the wayang as an ancestor cult, connected with dual organization initiation rites in which young men learned the secrets of the tribe. Wayang is clearly of Javanese origin with animistic features. Originally it was not individuals who were depicted on stage but legendary beings. These mythical figures, represented by the most important puppets, were used to explain the relationship between heaven and the human society; and the origin and the structure of the world. The introduction of narratives, such as the Indian epics, increased the number of puppets and brought more individuality to the characters.  The wayang is part of the religious complex constructed around the concepts of aulus-kasar, lair-batin and rasa. Aulus means pure, refined, polished, exquisite, ethereal, subtle, civilized, smooth. Kasar is merely the opposite: impolite; rough; uncivilized. Lair means «the outer realm of human behaviour»; batin «the inner realm of inner experience.»
Rasa has two primary meanings: ‘feeling’ and ‘meaning’. As ‘feeling’ indicates both feeling from without (taste, touch) and from within (emotional); as ‘meaning’ indicates the implicit import, the connotative ‘feeling’ of dance movements, polite gesture and so forth.

Traditionally a performance last an entire night, starts soon after sunset with an overture (talu) of gamelan music and continues without a break until dawn. The audience is not expected to sit silently, people meet friends and talk to them, look around, sometimes they get a snack from the stall, those who need to rest take a nap, the point being not the content of the story but the ritual efficacy of the performance. Sometimes people regard the puppets themselves as being entered by spirits during the performance; and a good dalang (puppeteer) is often said to be entranced.
From experience everyone more or less knows how a wayang play will proceed, and the exciting parts that they like to watch: the fight scenes and, in particular, the moment when the hero appears with his servants (panakawan) at midnight. According to tradition, any one at wayang performance is safe from evil influences which normally plague people, even though they may be so far from the screen that they can barely hear the voice of the dalang.

 


 
The making of shadow puppets is a long and painstaking process. Skin of a female buffalo of about four years of age, the ideal type for texture and strength, is dried, scraped and cured for up to ten years to achieve stiffness and eliminate warping and splitting. On maturity, skin are carved and pierced to fashion the required character. This technique involves extensive knowledge of iconography and physiognomy, since all lines – angles of the head, slant of the eyes and mouth, profile of the body – are specific to the the character. When carving is completed, the traditional pigments including powdered burnt bone for white, lampblack, indigo, yellow ochre and cinnabar for red in a gelatinous medium mixed from dried egg-white. Gold leaf and pigment are applied in a medium of protein glue derived from fish bones. The cempurit, or manipulating rods, are made of buffalo horn, while the studs attaching the jointed arms to the torso are of metal (sometimes gold), bone, bamboo or, in rare courtly examples, gold studded with diamond.
In a wayang kulit performance the shadow of the puppets are cast on to a white fabric screen (kelir) in a wooden frame. The puppets are fastened to a tortoise-shell stick, running from head to below their feet, at which point the dalang grasps the stick as a sort of handle. The arms, the only movable parts, have the cempurit – short sticks attached to them – which the dalang holds in the same hand and manipulates with his fingers. He holds the puppets up in either hand over his head and interposes them between the light and the screen. If they are nobles, as most are, he must be doubly careful never to let them get lower than his head. From the dalang’s side of the screen one thus sees the puppets themselves and their shadows rising up dominant on the screen behind them. From the reverse side of the wayang screen, one sees the shadow of the puppets only. Over the head of the dalang there is a special brass oil lamp (blencong) often shaped like the mythical bird Garuda. The light shining from the lamp on the head of the dalang – and making possible the projection of the shadow of the puppets on the screen – represents the divine light infused through the upper chakra in the dalang (intermediary between gods and humans). The puppets symbolize the original entities, or the celestial archetypes; the white screen represents the World. Thus, thanks to divine light, the ‘shadow’ of the archetypes are projected onto the  phenomenal world, where the dialectic of opposites takes place, but the world is, and remains, a ‘word of shadows’.

In front of the dalang, and parallel to the screen, there are two banana tree trunks, one a little higher than the other, into which the puppets are jabbed with their pointed handles when they are not in use. Members of the just party are placed on the right side, and members of the unjust party on the left. The highest ranking figures are placed on the higher trunk. To the left of the dalang there is a rectangular chest (kotak) in which the puppets and other props are kept. The chest has some small wooden or metal plates attached to it, called keprak or kekrek, which the dalang, sitting cross-legged in front of the screen during the performance, tinkles with his right foot to indicate the fury of the elements, the din of battle or the roaring of a giant. Using his left hand, he taps the inside of the chest with a small horn (cempala) or a wooden hammer (tabuh keprak) to guide the gamelan players sitting behind him. The lid of the chest sits on the right of the dalang and contains the puppets he wants to keep handy. Near the dalang there is also a bowl of incense (padupan) which is lit at the beginning of the performance, and a  bowl (sajen) with sacrifices for the spirits which might include food or flowers. Musical accompaniment dates from as late as the eighteenth century; gamelan music is essential to a wayang performance, and the music is especially selected for each performance. The gamelan orchestra presents to the ear the picture of the inner life the shadow-play presents to the eye. It is an entirely percussion orchestra, which may consist of as many as fifty  instruments in a very large court ensemble. There are several tonal scales or modes, but in wayang purwa the music is mostly in salendro, the five-tonal scale of Javanese gamelan music, with approximately equal intervals between the tones (barang, gulu, dada, lima, nem). The music expresses the atmosphere of the various sections of the performance and accentuates the movements and words of the puppets. Some wayang characters have their own particular melodies, associated with their personalities and moods.
 



 


 


 
 
A dalang is highly respected and is often believed to possess supernatural qualities – especially healing – because of his position as mediator between people, gods and spirits. Linguistically, the word dalang is thought to be associated with langlan, which means ‘to go round’ something. A dalang is a ‘wanderer’, but also a ‘diviner’, a protector in a religious or magical sense. The work of the dalang is difficult because he needs to have many talents and to conform to a number of court-derived prescriptions and traditions: antawacana (intonation), to make the distinction between the voice of each character, all of which have their own characteristic voice, and whose register and sound are determined by the combination of the shape of the eyes and the position of the head. A dalang has nine voices for the main figures, as well as the typical language of each one; rengep (to involve completely), to keep the performance alive; enges (emotion), to create interest in the characters and involve and move the audience, for instance, during a dialogue between lovers; tutug (eloquence), to recite prescribed dialogues or pagedongan (traditional, fixed explanations); banyol (comedy), to  make the audience laugh; sabet (flow, wave), to handle the puppets correctly, and properly distinguish between their movements, especially during fight scenes; kawiraja (kawi refers to the old Javanese mode of speech, raja means ‘prince’), to be able to recite the traditional eulogy prior to the performance; parama-kawi (parama is the Sanskrit word meaning ‘high’), to correctly explain the nicknames of the kings and nobles in the performance; amardi-basa (to focus on language), to know the different ways that gods, giants or humans speak in their various social positions (hierarchy is strongly embedded in the Javanese language, which has two completely separate vocabularies: if the listener has a higher status krama is used, but if he has a low status ngoko is used); parama-sastra, to know the writings (layang) on which a performance may be based, and which are necessary to determine the content of the suluk (narrative announcements) and greget saut (pieces of music); awicarita (knowledge of many tales), to know all the tales referred to in a performance, the character depicted by each puppet, and the significance of each stage requisite; amardawa-lagu (melodious singing), to know the verse measure and singing techniques which are used in performance. A dalang also needs to observe the following courtly prohibitions: he may not change the form of a performance once it is recorded in the pakem (handbooks of the court); he may not show any preference for a character; he may not show himself during a performance, or speak out of turn; he may not focus criticism on anyone, or anger his audience; he may not make uncouth jokes; he must make sure that the performance lasts for the correct duration and that each aspect of the performance lasts the appropriate time.

 

To signal the beginning and the end of the performance – but also strong emotions, scene changes, the elements of fire, earth, air and water – the dalang uses the gunungan, the most important requisite in the wayang theatre. The gunungan (gunung, mountain) or kayon (forest) is a representation of the ancient Tree motif originating from India. This consist of two parts: a mountain and a tree. The Tree motif is rendered as a combination of two different trees: the fig tree rooted in heaven; and the earthbound lotus tree rising from the waters. The former, placed above, has implanted its root in the top of the stem of the tree-shaped lotus. The lotus is the very symbol of life springing from the water. The celestial fig tree represents ‘creative breath’ or fire, which is as essential in creating life as the water’s essence. In the Javanese gunungan the lotus part can assume an hourglass form, with a small building with a pair of closed doors, or that of a lake or pot filled with water. Guardians stands on both sides of the stronghold. Their task is to guard treasures, particularly the mount Meru (heavenly mountain), and the liquid elixir of life. A pair of huge wings flank the upper half. The shape of these wings may actually be derived from lotus leaves or other vegetation. The gate building with closed doors can be understood as female, whereas the tree represents the male. Together and united they form life.  The gunungan is placed in the centre of the screen before the drama begins, separating the opposed groups of characters that lie to the right and left of the dalang. The meditation undertaken by the dalang before the performance seeks a train of associations leading from the gods of the Hindu pantheon to the kayon. During the performance, the gunungan is the backdrop with which time and space are delineated, and it determines the atmosphere. Its association with the Tree of Paradise makes it an apt image to suggest the idyllic world of the kingdoms of the wayang lakons (plays) before the activities of men and supernatural beings upset the ideal balance.

A lakon, the Javanese word for ‘play’, is an adaptation of the classical wayang literature for wayang performances, and is divided into fixed sections, these being related to religious overtones of consecration and entering a new state. The word lakon is derived from laku, which means ‘go’ or ‘act’, but can also imply ‘adventure’ or ‘journey’ Each section can be seen as a stop along the journey towards perfection. The transition from one section to the next is marked by suluk, the dalang’s recitative announcement of what is about to happen. The wayang purwa repertoire consists of four different performance cycles: the first, the preamble, deals with the origins of the world and the vicissitudes of the gods, and is inspired by both the Adiparwa, the prologue of the Mahabharata, and ancient Indonesian tales; the second, the Arjuna Sasra Bau cycle, deals with the lineage of several prominent characters of the Ramayana, including the birth of the twelve-headed giant known as Ravana or Dasamuka, and his opponent Arjuna Sasra Bau, he of a thousand arms, an incarnation of the god Visnu; the third cycle, the Rama cycle, is based on the Ramayana, and tells the story of the errant hero Rama, who goes in search of his wife Sita kidnapped by the giant Ravana; the fourth cycle, the Pandawa cycle is based on episodes from the Mahabharata, the story of the struggle between the five Pandawa brothers (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula and Sadewa) who rule the country of Amarta and the hundred Korawa brothers of Ngastina (led by Suyodana, Sakuni, Dorna and Karna, the dissident half-brother to the Pendawa) which ends with the disastrous battle (Baratayuda) lasted eighteen days during which the champions from each side face one another.

Wayang stories states the formulation of how is action possible, given compassion. Their philosophy is that insofar as one can perceive ultimate reality, which is within oneself as an ultimate feeling (rasa), one will be free of the distracting effect of earthly emotions, not only compassion, but anger, fear, love, hope, despair, and all. This gives one great power, either for good, as in the case of the Pendawa, or for evil, as in the case of the Korawa. Good and evil are human values only, and God is in in everything, the hate and the cruelty as well as the love and the compassion; and everything is in God.

 


 

The Pandawa, especially Arjuna, are always accompanied by their five loyal servants clown by the name of panakawan: Semar, a very fat man with big belly and enormous buttock; and his sons Gareng, with his misshapen arms and cross-eyes; Petruk, a tall man with a very long nose; Topog and Bagong, with a squat body and very big eyes. Semar’s sons have been brought to life by their father’s practice of meditation. They live in the village of Karang Kabolotan, bolot means human body's dirt. Panakawan (pana means ‘clear vision, clever’ and kawan means ‘companion’), thus, those who have clear vision and that can give a wise advice. Although they are only servants, with ugly faces and disproportional bodies, they are very wise and good advisers. On the stage, the most pathetic scenes are often interrupted by the panakawan. This occurs especially during the gara-gara, the climax and turning point of the performance. There is a fine line between the sublime and the ridiculous; wisdom easily becomes foolishness and vice versa. Humour and satire have a protective and strengthening power and are the counterbalance for passion, despair, and other deep feelings which may disturb the harmony with their intensity. The Javanese word for clown, badut, is derived from badot, meaning ‘healer’. The panakawan are thought to be purely Javanese by origin because of their roles as mediators. They always refer to the ksatrias as «Ndara Den Bagus» (ndara, from bendara,means ‘master’; den, abbreviation of Raden, a male court title; bagus means good and handsome), the whole meaning being «Master, do a good things».




Semar or Sang Hyang Ismaya, the oldest and most important of the panakawan, was originally a god, ‘the twin brother of heaven’. He is the elder brother of the highest god, Batara Guru. As a punishment for a misdeed he was given a grotesque form and sent to earth to serve the descendants of the gods (ksatrias). He is the guide of the hero on a journey full of tribulations which the hero must overcome before achieving his goal.

The name Semar comes from the word samar (vague) and, as a master of secret theology (kyai lurah), he can be called ‘mysterious’. His words are from se[ngsem] (to lure) and mar[sudi] (to search, to do) meaning that one is lured to search or do good things.  The other names of Semar are:Badranaya: badra means ‘dark cloud’; naya means ‘face’. As a clever man, one has to have a bright face (has to be happy, do not appear with dark face); Bojagati: boja (food) symbolizing knowledge, gati (real, true) meaning a true and correct knowledge, that is, a wise man always teaches a true and correct lesson. Semar’s appearance befits his nature and his place in the ancient mythological world: he is both man and woman. In the dalang’s worlds: «Semar can be called mysterious. Call him a man, and his face will look like a woman’s; call him a woman and he will look like a man. What does kyai lurah Semar look like? He has a snub nose which is mrakateni (so charming that it inspires love), watery eyes, puffy cheeks, also comely; he is fat, but graceful; in short, everything about his person is pleasing. Anyone in Semar’s company therefore wins the love of the gods. Indeed, kyai lurah Semar is a mysterious person, for he is not an ordinary human but a divinity from the Suralaya (heaven), in reality, he is the Sang Hyang (venerable god) Ismaya

Semar wears a batik with kampuh polong patterns, with four colours, meaning that there are four kind of lusts (nafsu): red ~ amarah, anger, like the character of Rahwana; yellow ~ supiyah, greedy like Sarpakenaka, Rahwana's sister; black ~ aluamah, desire of eating and sleeping like Kumbakarna; white ~ mutmainah, doesn't have any desire, like holiness, in wayang is Wibisana. A man should be able to harmonize these four nafsu for positive endeavours.



SELECTED BIBLIOGRAPHY
B. R. O’G. ANDERSON, Mythology and the Tolerance of the Javanese, Cornell University, Ithaca, NY. 1965.
J. R. BRANDON, On Thrones of Gold. Three Javanese Shadow Plays, Harvard University Press, Cambridge, Mass. 1970.
A. J. BERNET KEMPERS, Ancient Indonesian Art, Amsterdam 1969.
A. DJAJASOEBRATA, Shadow Theatre in Java, Pepin, Amsterdam 1999.
C. GEERTZ, The Religion of Java, Free Press, New York 1964.
B. M. GOSLINGS, De Wajang op Java en op Bali in het Verleden an het Heden, Amsterdam 1938.
ERNST HEINES, Wayang Kulit. Het schimmenspel van Java, Indonesië, Amsterdam 1973.
C. HOLT, Art in Indonesia. Continuities and Change, Cornell University Press, Ithaca, NY. 1965.
C. HOOYKAAS, The Function of the Dalang, in «Akten des 24° Internationale Orientalisten-Kongress», München 1957.
L. INVERNIZZI ~ A. CASSIO, Wayang Purwa, il teatro d’ombre nella cultura giavanese, Torino 1977.
A. B. JOSODHARMODJO, A Brief Outline on the Aspects of the Javanese Wayang Kulit, Jakarta 1967.
J. C. LEUR, Indonesian Trade and Society, The Hague 1955.
MANGKOE NEGARA VII, Over de Wajang-Koelit (Poerwa) in het algemeen en over de daarin vooromende Symbolische en Mystieke Elementen, in «Djawa», XII, 1933.
R. L MELLEMA, Wayang Puppets; Carving, Colouring and Symbolism, Amsterdam 1954.
MOEBIRMAN, Wayang Purwa, the Shadow Play of Indonesia, Yayasan Pelita Wisata, Jakarta 1973.
SRI MULYONO, Human Character in the Wayang, Pustaka Wayang, Jakarta 1977.
W. H. RASSERS, Panji, the Culture Hrero. A Structural Study of Religion in Java, Nijhoff, The Hague 1959.
F. SERRURIER, De Wayang Poerwa, Leiden 1896.
H. ULBRICHT, Wayang Purwa. Shadows of the Past, Kuala Lumpur 1970.
P. J. ZOETMULDER, The Wayang as a Philosophical Theme, in «Indonesia», XII, 1971.